16 Juli 2009

Pelajaran Untukku & Untuknya

Belakangan ini aku merasakan kejangalan dalam hal jumlah nominal dana harian yang aku kelola. Namanya ibu rumah tangga, yang musti teliti dan hati-hati membelanjakan harta pemberian suami. Harus mengatur sedemikian rupa, supaya jatah bulanan yang diberi oleh suami cukup untuk memenuhi semua kebutuhan tetek bengek rumah tangga. So, bila keliru sedikit atau ada selisih dalam perhitungannya, pasti aku memeras ingatan:

”Habis beli apa ya, kok dana yang tersisa jumlahnya sekian?”

Aku menyimpan dana cash dengan mengelompokkan masing-masing sepuluh lembar. Sembilan lembar lurus, dan satu lembar ditekuk untuk pembatas sekaligus menjepit yang sembilan lembar tadi. Tentunya dengan berulang kali menghitung secara teliti, memastikan bahwa masing-masing kelompok tak lebih dan tak kurang dari sepuluh lembar.

Selanjutnya aku selalu rajin untuk melakukan pembukuan. Mencatat pembelanjaan harian, belanja insidental, juga pengeluaran-pengeluaran tak terduga yang jumlahnya lumayan besar. Sehingga aku dapat memantau dan memperkirakan apakah dana yang tersisa masih cukup hingga akhir bulan nanti. Sekaligus berintrospeksi, apakah aku telah berhemat atau justru boros membelanjakan untuk hal-hal yang kurang perlu.

Beberapa waktu lalu, ketika sedikit diburu waktu untuk membayar barang yang kubeli; sebenarnya aku sudah merasa bahwa dalam kelompok-kelompok dana cash-ku, jumlahnya masing-masing berkurang satu. Tapi karena waktu itu kufikir mungkin hanya sekilas menghitung, dan nanti saja menghitung ulang, sehingga kubiarkan saja sisa dana cash di tempat penyimpanannya tanpa kuhitung lagi.

Kemarin, aku hendak membayar uang sekolah anak-anak. Aku mengambil satu kelompok uang, ditambah enam lembar lagi. Kufikir membawa dana pas saja, masih ada kembalian sedikit. Ngga tahunya, sampai di tempat pembayaran, aku sedikit gelagapan. Karena satu kelompok uang yang kukira berjumlah sepuluh lembar, ternyata hanya ada sembilan lembar. Ditambah enam lembar lagi hanya berjumlah lima belas lembar. Padahal yang kubutuhkan enam belas lembar. Wahh... Berulang aku hitung-hitung lagi sebelum menyerahkan kepada kasir. Karena memang jumlahnya kurang, terpaksa aku mengambil lagi dari dompet lain. Yang sedianya untuk jatah belanja.

Heran..., sampai di rumah aku menuju tempat penyimpanan dana cash. Dan aku lumayan terkejut, karena setelah kuhitung, masing-masing kelompok uang... jumlahnya tinggal... sembilan.

”Masa sih aku salah ngitung? Kalau salah biasanya kan hanya satu kelompok saja yang jumlahnya kelebihan atau kurang. Ini.. tiap kelompok jumlahnya tinggal sembilan, alias berkurang masing-masing satu lembar? Waduh.....Bisa kurang nih.. jatah dana sampai akhir bulan...”

Saat itu aku langsung merenung. Berarti aku kurang amanah terhadap dana yang diberikan oleh suami. Hingga kebingungan, kok uang bisa berkurang dalam jumlah yang significant. (he he kebawa istilah hasil penelitian data tesis). Mana aku ngga tahu, uang itu ke mana?

Selama ini aku memang menaruhnya di sebuah dompet panjang, di dalam tas, dan tas tersebut biasa aku geletakkan di mana saja. Kadang di kursi, kadang di kasur, dan terakhir aku letakkan di dalam box terbuka dekat meja kecil. Anak-anak sampai pada tahu, kalau harta umminya ada di tempat tersebut. Dan nampaknya.... si emba juga tahu kalau aku menyimpan dana di situ.

’Deggg’ tiba-tiba ada getaran di dadaku. Aku tak mau berburuk sangka. Selama ini aku mempercayai siapa saja yang bekerja di rumahku. Si Emba yang dulu-dulu bekerja sampai tahunan, Alhamdulillah... tak ada kasus ketidakjujuran dalam hal uang dan barang berharga. Paling-paling pulsa telpon.. he he..

Mba yang sekarang memang baru dua bulan bekerja kembali di rumah kami. Setahun yang lalu minta berhenti karena alasan merawat suaminya yang sakit-sakitan. Dua bulan lalu, ia kembali bekerja bantu-bantu mencuci dan bersih-bersih di rumah kami.

Nah, karena aku tak mau terus-menerus berprasangka; berulang kali aku menepis fikiran-fikiran yang muncul, bahwa mungkin si emba yang mengambil uangku. Aku lalu menghitung kembali secara teliti jumlah nominal yang terdapat di dompet. Kuulang lagi, memastikan jumlahnya. Lalu menyimpan kembali, dan bertekad setelah ini aku harus lebih teliti dan hati-hati. Jumlah yang tersisa tak banyak lagi, sehingga aku yakin perhitunganku benar. Sayangnya, aku lupa untuk memindahkan tempat penyimpanan tas yang menampung dompet hartaku itu. Dan tetap saja menaruh tas itu di sebuah box terbuka dekat meja seperti biasanya.

Pagi ini, setelah anak-anak berangkat sekolah; dan si emba datang; aku mengajak si kecil bermain ke luar. Berjalan-jalan, melihat burung merak milik tetangga kami, dan berbincang-bincang dengan para ibu tetangga yang kebetulan bertemu. Aku tinggalkan si emba sendirian di rumah, untuk mencuci dan berbenah, melakukan rutinitas seperti biasanya.

Sebentar kemudian datang tukang ayam langganan. Aku memesan satu ekor, sementara ayam dipotong-potong oleh penjualnya, aku menuju rumah untuk mengambil uang, karena aku tak membawa uang waktu pergi ke luar tadi.
Saat hendak mengambil uang dari dompet penyimpanan, kembali aku dipaksa untuk mengerutkan dahi.

”Kok... jumlahnya berkurang satu lembar lagi ya...?” Wah... sepertinya alibiku mulai kuat nih. Sore kemarin baru kuhitung, kupastikan jumlahnya sekian. Sampai pagi ini belum ku utak-atik lagi dana yang tersimpan di dompet itu. Dengan perasaan gamang..., kuambil selembar uang yang ada di dompet tersebut, menuju ke tukang ayam untuk membayar belanjaanku. Dalam hati aku masih bertanya-tanya...

Setelah itu, perasaanku kian tak menentu. Dalam hati kecil aku yakin... berkurangnya jumlah uangku, ada kaitannya dengan si emba. Tapi... aku juga tak mau menuduh begitu saja.

Akhirnya, dengan Bismillah..., berusaha untuk tidak menampakkan kecurigaanku padanya, aku berbicara kepada emba:

”Mba...., habis ini bantu ummi nyari uang ummi yang hilang ya? Satu lembar mba.... Ummi khawatir, nanti uang ummi ngga cukup sampai akhir bulan. Kan uang sekolah anak-anak naik, terus kebutuhan yang lain banyak. Belum lagi nanti untuk jemputan sekolah, buat emba juga nanti....”

”Oh... ya Mi...” sahutnya. Aku berusaha mengucapkan kata-kata lagi, yang menunjukkan ketidakcurigaanku padanya. Terpaksa aku menjadikan anakku yang besar sebagai alasan....

”Mungkin si Mas, Mba... pinjam uang ummi buat main-main, terus kececer. Kan dia tahu ummi nyimpen uangnya di mana. Dia suka main jual-beli...” lanjutku.

”Di sekitar sini ya Mi? Nanti deh... emba sapu dan beres-beres lagi. Takutnya udah kesapu lagi Mi... wah.. jangan-jangan udah dilecekin terus kebuang...” jawabnya kemudian, seolah-olah tak tahu apa-apa. Namun dalam pengamatanku, tak sedikit pun mata emba berani menatapku. Aku bertambah yakin, kalau emba telah khilaf mengambil uangku.

“Iya deh Mba... mudah-mudahan kalau masih rejeki ummi, ketemu ya Mba... Ntar ummi kasih hadiah deh...”

Setelah itu, aku berusaha menidurkan si kecil yang mulai mengantuk. Membaringkannya sambil memberi asi. Dari dalam kamar, aku mendengar si emba meneruskan aktivitasnya, dan terdengar suara berbenah, menggeser-geser meja kecil yang kumaksud. Waktu berlalu beberapa menit, si kecil sudah tertidur. Dalam hati aku merasa yakin, uang yang hilang akan kembali, maksudku akan dikembalikan oleh emba, tanpa mempermalukan dirinya di depanku.

Insya Allah, setelah aku minta dia untuk membantu mencari uang yang hilang, justru hati kecilnya tak akan tega untuk berbuat buruk kepadaku. Toh selama ini keluarga kami selalu berbuat baik padanya, menganggap sebagai satu keluarga. Kami sering memberikan bantuan di luar gaji yang menjadi hak hasil pekerjaannya. Kalau pun emba sampai tega mengambil uang di luar haknya, semoga karena benar-benar tengah khilaf. Selama ini emba orang yang baik, dan rajin dalam bekerja. Allahu a’lam...

Benar saja. Pada detik-detik terakhir aku sudah mulai melupakan kemungkinan emba mengambil uangku, dan mengikhlaskan semuanya, memberi pelajaran bahwa tak semestinya aku menyimpan uang sembarangan...

”Mi..., Ini... uangnya ketemu...” terdengar suara emba datar. Hatiku bersorak. Pun mulutku berucap..

”Alhamdulillaah... emba baik banget..... Di mana Mba?”

”Nih..., di bawah rak rotan itu Mi....” emba menyodorkan selembar uang kepadaku. Kuterima, dan sebelum kusimpan, sekilas kuamati, ada bekas lipatan dua kali. Menunjukkan bahwa uang tersebut sebelumnya sudah dilipat dan disimpan. Kalau hanya tercecer dan jatuh di bawah rak rotan, tentu masih dalam keadaan lurus tanpa lipatan. Jelas sudah...

Namun dalam hati, aku tersenyum. Alhamdulillaah, emba masih diberi kesadaran untuk mengembalikan yang bukan haknya. Sekaligus memberi pelajaran kepadaku, untuk menjaga harta pemberian suami dan menjaga perasaan orang lain. Mungkin niat buruknya muncul karena keteledoranku menaruh uang sembarangan, sehingga memungkinkan kesempatan dan godaan bagi emba untuk melakukannya. Astaghfirullaah...

Tidak ada komentar: